ACARA I
PENGAWETAN KULIT METODE GARAM KERING
TINJAUAN PUSTAKA
Pengawetan kulit secara umum didefinisikan sebagai suatu cara atau proses untuk mencegah terjadinya lisis atau degradasi komponen-komponen dalam jaringan kulit. Prinsip pengawetan kulit adalah menciptakan kondisi yang tidak cocok bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme perusak kulit. Hal tersebut dilakukan dengan menurunkan kadar air sampai tingkat serendah mungkin dengan batas tertentu sehingga mikroorganisme tidak mampu untuk tumbuh, berkisar antara 5-10% (Judoamidjojo, 1981).
Pengawetan kulit mentah memiliki beberapa tujuan antara lain: mempertahankan struktur dan keadaan kulit dari pengaruh lingkungan untuk sementara waktu sebelum dilakukan proses pengolahan/ penyelesaian, untuk tujuan penyimpanan dalam waktu yang relatif lebih lama dan agar kulit dapat terkumpul sehingga dapat dikelompokkan menurut besar dan kualitasnya serta mengantisipasi terjadinya over produksi karena stok kulit yang terlalu banyak. Salah satu cara pengawetan kulit adalah dengan metode penggaraman dan pengeringan (Sukarbowo, 1989).
Hasil baik dapat diperoleh bila bulu sampai di pabrik penyamakan dalam keadaan segar dan dalam waktu empat jam setelah pengulitan. Namun pada umumnya keadaan tersebut hamper tidak mungkin dicapai. Maka alternatif lain adalah dengan menggunakan bahan-bahan pengawetan sementara, seperti mencelup kulit ke dalam larutan jenuh dari garam untuk beberapa hari (Judoamijojo, 1981).
Di daerah tropik, Indonesia misalnya, metode pengawetan yang cocok adalah dengan sinar matahari. Hal ini dikarenakan, efektif terhadap kerusakaan, murah, dan jarang terjadi perubahan pada jaringan kulit. Tetapi dengan sinar matahari juga mempunyai kelemahan, yaitu waktu yang dibutuhkan lebih lama dan jika kulit kurang kering, kulit akan mudah terkena jamur sehingga kulit cepat rusak dan ekan menurunkan nilai jual. Pengawetan kulit merupakan faktor penentu kualitas kulit selain faktor penyamakan. Proses penggaraman dapat menghasilkan kulit dengan kualitas yang bagus, hal ini karena kulit tidak mudah berjamur jika kuilt diberi garam, tidak tergantung sinar matahari dan proses pembasahan (soaking) cepat (Aten et al., 1955).
Metode penyamakan dan pengawetan berpengaruh terhadap kematangan kulit, kuat mulur, dan kekenyalan kulit, sedangkan sifat organoleptik yaitu kepadatan bulu, kerontokkan bulu, kilapan bulu dan penampilan bulu hanya dipengaruhi oleh faktor pengawetan. Kuat tarik kulit tidak dipengaruhi oleh metode penyamakan, pengawetan ataupun oleh interaksi keduanaya. Kualitas kulit samak bulu dengan penyamakan khrom lebih baik dari penyamakan formalin. Kulit mentah segar yang langsung diproses/disamak menghasilkan kulit jadi dengan mutu yang baik, pengawetan garam/penggaraman memberikan hasil kulit jadi yang mendekati hasil kulit mentah segar (Sasanadharma, 1992).
Kulit bulu memerlukan perhatian yang lebih daripada kulit lain karena kerusakan sedikit saja dapat menyebabkan lepasnya bulu dan menjadi botak. Pisau pengulitan harus berbentuk bundar dan ujungnya harus tumpul. Pengulitan harus segera dilakukan, sebaiknya sewaktu hewan masih hangat. Pemompaan ialah cara yang paling baik karena caraini menimbulkan kerusakan yang terkecil terhadap bulu (Judoamijojo,1981).
Pengawet sementara seperti penggaraman, pertama-tama dilakukan dengan cara kulit harus dicuci bersih untuk membuang semua darah, lemak dan daging yang masih menempel pada bagian dasar kulit, kemudian dihamparkan di meja atau lantai dan taburi garam hingga merata. Bagian perut dilipat kedalam hingga saling bertemu. Kulit lalu digulung dengan permukaan bulu keluar dan digulung dari kepala sampai ekor dan diikat dengan baik agar keamanannya terjamin. Kulit yang diawetkan dengan cara ini mampu bertahan 10 hari (Judoamijojo,1981).
Kulit mentah atau jangat yang akan dibuat kulit harus dibusukkan. Namun proses pembusukan ini harus ditunda dulu dengan menggunakan garam yang kita kenal sebagai bahan pengawet. Garam ini kemudian ditaburi di atas jangat, setelah itu dijemur di bawah terik matahari. Setelah jangat tersebut kering lalu dibawa ke penyamak. Setelah itu, jangat direndam dengan air untuk menghilangkan kotoran hewan, tanah dan zat albumin. Sisa daging yang mungkin masih melekat pada jangat tersebut, harus dibersihkan dengan pisau daging bergagang dua yang dirancang khusus. Seperti dijelaskan di atas, teknik persiapan ini sangat bervariasi tergantung tipe jangat yang digunakan. Persiapan yang dilakukan akan berbeda dan ada ciri khas dari masing-masing bahan yang digunakan (Anonim, 2013).
MATERI DAN METODE
MATERI
A. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam acara pengawetan garam keringantara lain:ember, timbangan, pisau dan gunting, pengaduk, beaumcter dan gelas ukur.
B. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini antara lain: plastic,kulitsapi segar, garam dan air.
METODE
Metode pengawetan kulit dengan metode garam kering pertama-tama kulit sapi segar ditimbang, kemudian dihilangkan lemak dan sisa daging yang melekat (fleshing) lalu ditimbang kembali. Setelah itu direndam dalam larutan garam jenuh. Setelah perendaman, kulit dipentangkan pada bingkai dan ditaburi dengan garam kristalhalus. Kemudian dijemur dibawah sinar matahari selama beberapa hari. Dan yang terakhir, amati perubahan fisik yang terjadi pada kulit.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil perlakuan dan pengamatan fisik yang dilakukan, diperoleh data sebagai berikut:
Parameter
|
A
|
B
|
Jenis kulit
|
Kulit sapi
|
|
Berat kulit awal
|
185 gr
|
|
Berat kulit setelah flashing
|
180 gr
|
|
Jumlah garam
|
15 sendok
|
|
Jumlah aquadest
|
2 L
|
|
Berat kulit akhir
|
99.86 gr
|
|
Lama kulit kering
|
4 hari
|
|
Perubahan fisik:
|
|
|
- Warna
|
Putih
|
|
- Bau
|
Amis
|
|
- Tekstur
|
Kasar, keras
|
|
Dari data diatas, terjadi penurunan berat kulit awal dan setelah flashing sebanyak 5 Gram. Falashing adalah proses penghilangan lemak dan sisa daging yang masih menempel pada bagian dasar kulit. Tujuannya agar bahan samak pada proses selanjutnya dapat meresap kedalam kulit secara sempurna (Judoamidjojo, 1981).
Berdasarkan data yang diperoleh untuk pembuatan larutan garam jenuh dibutuhkan 15 sendok garam dalam pelarut (aquadest) sebanyak 2 Liter sampai larutan mencapai titik kejenuhan dan penurunan berat awal dan akhir setelah penggaraman menurun sebanyak 80,14 Gram diakibatkan karena adanya penurunan kadar air seterah penggaraman dan pengeringan. Fungsi larutan garam jenuh adalah untuk menurunkan kadar air pada kulit, sehingga dapat menjaga kualitas fisik kulit mentah selama 10 hari, dengan batasan kadar air berkisar antara 5-10% (Judoamidjojo, 1981).
Larutan garam jenuh adalah larutan garam murni (NaCl) ataupun garam teknis (garam kotor) yang mengandung kadar kepekatan garam (salinitas) 20-24oBe. Standar baku untuk salinitas 1oBe dapat dibuat dengan melarutkan 1 kg garam murni ke dalam 100 liter air atau 1,5 kg untuk garam teknis. Berdasarkan acuan tersebut berarti Untuk membuat larutan garam dengan tingkat kepekatan 1 oBe maka dibutuhkan garam murni (NaCl) sebanyak 1% dari total berat air pelarut, sedangkan bila menggunakan garam teknis dibutuhkan 1,5 % dari total berat air pelarut. Mengingat garam murni sangat sulit untuk diperoleh dan secara ekonomis mahal, sehingga lebih baik menggunakan garam teknis (garam kotor) yang banyak dijual di pasaran. Kadar salinitas diukur dengan alat yang disebut Baume meter. Bila alat ukur tersebut tidak dijumpai, cara lain untuk menentukan tingkat kejenuhan garam dalam pelarut yakni dengan melarutkan garam ke dalam air sambil diaduk. Bila garam tidak dapat larut lagi, berarti konsentrasi garam dalam larutan tersebut telah jenuh (Pearson, 1992).
Prinsip pengawetan kulit dengan penggaraman yaitu kulit segar harus dibersih dari lemak, darah, sisa-sisa daging maupun kotoran yang melekat agar tidak menghalangi proses penyamakan pada tahap selanjutnya. Kemudian direndam dalam dalam cairan garam (NaCl) jenuh dengan kadar kepekatan garam (salinitas) 20-24oBe selama 1-2 hari kemudian ditiriskan pada bagian atas bak perendaman. Bagian daging dari kulit tersebut ditaburi kembali dengan garam dengan persentase 10% dari berat kulit basah dan kulit didiamkan selama 1-2 jam untuk memperbaiki kondisi peresapan. Kemudian kulit kembali dipentang pada bingkai kayu dengan waktu pengeringan 3-5 hari (Pearson, 1992).
Metode pengeringan yang benar yaitu proses pengeringan tidak boleh dilakukan terlalu cepat, sebab zat-zat kulit pada lapisan luar akan mengering lebih cepat dibanding pada bagian dalam dari kulit. Temperatur yang terlalu tinggi menyebabkan zat-zat kulit (kolagen) mengalami prosesgelatinisasi menjadi gelatin yang bersifat mengeras dan tentunya dapat menghalangi proses penguapan air pada bagian dalam. Bila hal tersebut terjadi mengakibatkan kulit akan membusuk pada saat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengantisipasi hal tersebut beberapa petunjuk teknis sederhana tentang posisi letak kulit dalam proses penjemuran kulit dibawah sinar matahari. Penjemuran pertama dimulai pada bagian daging (flesh). Pukul 09.00-11.00 dan pukul 15.00-17.00 penjemuran dilakukan dengan arah sinar matahari tegak lurus dengan permukaan kulit. Pada waktu siang hari yaitu pukul 11.00-15.00 penjemuran dengan arah sinar matahari sejajar dengan arah datangnya sinar matahari. Bila kulit pada bagian dagingnya telah kering, maka posisi kulit dapat dibolak balik sedemikian rupa hingga semua pengeringan dapat merata disemua permukaan kulit. Proses pengeringan kulit dapat selesai dalam waktu kurang lebih 2-3 hari dengan kondisi panas matahari yang cukup dan penguapan yang teratur (Djojowidagdo,1999).
Keuntungan dari proses ini yaitu selama waktu pengeringan kulit tidak lekas menjadi busuk sekalipun pengeringannya memerlukan waktu yang relatif lama misalnya pada saat musim penghujan. Kualitas kulit menjadi lebih baik dari pada yang dikeringkan saja oleh karena serat-serat kulit tidak melekat satu sama lain dan kulit sangat baik untuk disamak terutama dalam proses perendaman (soaking) yang tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama lagi. Sedangkan kerugiannya adalah biaya yang relative besar. (Djojowidagdo, 1999).
KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari praktikum ini yaitu metode penggaraman dan pengeringan merupakan cara yang paling efektif untuk pengawetan kulit setelah pemotongan ternak sebelum kulit disamak. Perendaman menggunakan larutan garam jenuh dengan nilai kejenuhan larutan berkisar antara 20 sampai 24oBe, bertujuan untuk menurunkan kadar air yang berkisar antara 5-10% dalam kulit segar, untuk mencegah terjadinya lysis atau perubahan fisik kulit setelah pemotongan. penggunaan metode ini merupakan cara yang paling efisin dan mudah dilakukan, akan tetapi biaya yang dubutuhkan relative besar sesuai dengan jumlah kulit yang akan disamak.
DAFTAR PUSTAKA
Atan, A.R.F. Inner and E. kne, 1995. Flying and curing of Hider ang skin as a rolar industry, FAO. Of the united Nation, Rome.Anonym,2013. Teknologi pembuatan kulit abad pertengahan. Diakses dari http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/khazanah/09/04/16/44127-teknologi-pembuatan-kulit-abad-petengahan. Pada tanggal 19 Oktober 2013.
Djojowidagdo, S. 1999. Histologi Sebagai Ilmu Dasar dan Perannya dalam Pengembangan IPTEK Pengolahan Kulit. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Judoamidjojo, R Muljono.1981. Teknik Penyamakan Kulit Untuk Pedesaan. Angkasa, Bandung.
Pearson, A.M and Dutson, T.R. 1992. Inedible Meat By-Products. Advances In Meat Research. Vol.8. Elsevier Applied Science, London and New York.
Sukarbowo, P dan Sudarjo, S. 1989. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit. Akademi Teknologi Kulit, Yogyakarta
Title : LAPORAN PRAKTIKUM PENGAWETAN KULIT METODE GARAM KERING
Description : ACARA I PENGAWETAN KULIT METODE GARAM KERING TINJAUAN PUSTAKA Pengawetan kulit secara umum didefinisikan sebagai suatu cara atau p...
Description : ACARA I PENGAWETAN KULIT METODE GARAM KERING TINJAUAN PUSTAKA Pengawetan kulit secara umum didefinisikan sebagai suatu cara atau p...
Post a Comment
Silahkan tinggalkan komentar serta dipersilahkan menuliskan URL link agan-agan yang terkait dengan topik diatas..